Pesan Maulid Nabi dan Hikmah Kisah Musa–Khidir untuk Kepemimpinan Islam

Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ yang marak di berbagai kementerian, lembaga, dan institusi swasta hampir selalu dirangkai dengan acara santunan anak yatim. Pekan lalu saya ceramah di hadapan jajaran TNI AL dan hari ini di depan jajaran Kemenlu RI, juga ada santunan yatim. Fenomena ini bukan sekadar tradisi, melainkan memiliki akar historis dan spiritual yang dalam. Rasulullah ﷺ lahir dalam keadaan yatim, dibesarkan tanpa ayah sejak dalam kandungan, dan ditinggal sang ibu wafat saat di usia enam tahun. Keyatiman bukanlah sekadar biografi pribadi, melainkan pesan peradaban yang relevan sepanjang zaman.

Yatim dalam Sejarah Nabi

Kondisi yatim membentuk karakter kepemimpinan Nabi. Beliau tumbuh tanpa privilese kekuasaan, tanpa warisan harta, namun justru melahirkan jiwa yang tangguh, mandiri, dan berempati pada kaum lemah. Dari pengalaman hidup itulah lahir empati Rasul terhadap yatim dan fakir miskin. Tidak heran bila beliau bersabda:

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini,” seraya merapatkan jari telunjuk dan jari tengah (HR. Bukhari).

Dengan demikian, setiap kali kita memperingati kelahiran Nabi dengan menyantuni anak yatim, sesungguhnya kita sedang meneguhkan kembali pesan utama kenabian: membela yang lemah, menolong yang tertindas, dan menjadikan kasih sayang sebagai basis kepemimpinan.

Musa dan Khidir: Hikmah di Balik Penderitaan

Pesan kepedulian terhadap yatim mendapat penegasan simbolik dalam kisah Nabi Musa dan Khidir di Surat Al-Kahfi. Dua peristiwa monumental menjadi cermin:

Pembunuhan seorang anak kecil yang menimbulkan protes Nabi Musa. Dari sisi lahiriah, peristiwa itu tampak kejam, tetapi Allah menyingkapkan bahwa anak itu kelak akan membawa kekafiran bagi orang tuanya. Maka Allah hendak menggantinya dengan anak yang lebih baik (QS. Al-Kahfi: 74–80). Pesannya: di balik kehilangan seorang anak, ada rahmat Allah yang tersembunyi, meski manusia sering tak mampu melihatnya.

Pembangunan kembali dinding yang hampir roboh untuk melindungi harta peninggalan bagi dua anak yatim (QS. Al-Kahfi: 77–82). Meski penduduk kampung itu pelit, Khidir tetap menegakkan dinding sebagai bentuk perlindungan ilahi. Pesannya: Allah menjaga masa depan yatim dengan cara-Nya, melalui perantara manusia yang diberi hikmah.

Kedua peristiwa ini memberi bingkai spiritual bagi pesan Maulid Nabi. Bahwa yatim bukan sekadar objek belas kasihan, tetapi simbol kebijakan Ilahi: Allah sedang mendidik umat agar melahirkan generasi tangguh dari keterbatasan.

Data Yatim: Antara Indonesia dan Gaza

Realitas hari ini menegaskan pentingnya pesan itu. Di Indonesia, menurut data Kementerian Sosial (Mei 2022), terdapat lebih dari 4 juta anak yatim piatu. Catatan KPAI & BPS 2024 bahkan menambahkan, jumlahnya mencapai 4,2 juta anak yatim dan hampir 1 juta anak yatim piatu penuh yang memerlukan perhatian khusus.

Sementara itu, di Palestina, khususnya Gaza, agresi militer sejak 7 Oktober 2023 telah membuat lebih dari 25.000 anak menjadi yatim piatu. Laporan internasional terbaru menyebut jumlahnya bahkan mencapai 39.000 anak yang kehilangan satu atau kedua orang tua, di antaranya 17.000 anak yatim piatu penuh. Angka-angka ini mengguncang nurani dan memperlihatkan bahwa isu keyatiman bukanlah wacana seremonial, melainkan krisis kemanusiaan nyata.

Data ini menegaskan bahwa santunan bukan sekadar simbol, melainkan kebutuhan praktis. Dengan jumlah yang begitu besar, maka harus menjadi bagian dari kebijakan kesejahteraan berkelanjutan. Di satu sisi ada hutang moral dan spiritual, di sisi lain beban sosial-negara dan masyarakat sangat nyata: pendidikan, kesehatan, psikologis.

Pesan Keyatiman untuk Kepemimpinan

Apa makna semua ini bagi umat dan negara? Bahwa kepemimpinan yang autentik lahir dari empati dan penderitaan, bukan dari kemewahan dan privilese. Nabi Muhammad ﷺ adalah contoh nyata: seorang yatim yang dibentuk Allah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Artinya, pemimpin yang layak dipercaya umat bukanlah mereka yang sibuk mengokohkan dinasti politik atau menimbun kekayaan, melainkan mereka yang paham luka rakyat, peduli pada anak yatim, dan menjaga masa depan generasi. Jika Khidir membangun dinding demi melindungi masa depan yatim, maka pemimpin hari ini harus membangun “dinding sosial” berupa pendidikan, keadilan, dan kesejahteraan agar generasi tidak roboh.

Dari sisi simbolik kedaulatan dunia Islam, kondisi Masjid Al-Aqsa di Palestina selama 77 tahun ini dalam keadaan yatim tidak memiliki pelindung sejati dan pengayom yang kuat. Hasilnya adalah rakyat Palestina yang hak-haknya dirobohkan dan diinjak-injak oleh entitas zionis Israel selama puluhan tahun. Keyatiman Al-Aqsa dan bangsa Palestina harus menjadi cermin dan pelecut semangat kita menghadirkan kepemimpinan Islam dalam skala global yang dapat menjaga dan melindungi amanah Allah dan wasiat Rasulullah saw.

Penutup

Maka, tradisi Maulid Nabi yang disertai santunan yatim sejatinya adalah pengingat keras: umat Islam tidak boleh terjebak dalam euforia seremonial tanpa substansi. Maulid harus menjadi momentum membangun kepemimpinan yang berakar pada kasih sayang sosial. Dan santunan yatim bukan hanya amal jariah, tetapi bagian dari proyek peradaban—menjaga generasi dari keruntuhan moral dan ekonomi.

Dari Maulid Nabi, dari santunan yatim, dan dari kisah Musa–Khidir kita belajar bahwa di balik setiap penderitaan ada rahmat tersembunyi. Dan pemimpin sejati adalah mereka yang bersedia menjadi wasilah rahmat itu: membangun dinding peradaban agar umat tidak roboh oleh kezaliman dan kediktatoran para aktor global dan lokal.

Jakarta, 16 September 2025

Oleh: Fahmi Salim
Ketua Umum Forum Dai & Muballigh Azhari Indonesia, Direktur Utama Baitul Maqdis Institute

Scroll to Top