
Pengakuan sejumlah negara Barat atas Palestina dalam pekan terakhir jelang Konferensi Internasional Penyelesaian Palestina dan Solusi Dua Negara dan Sidang Umum PBB ke-80 di New York pada 22-23 September 2025, kembali menyalakan diskursus lama tentang solusi dua negara. Inggris, Prancis, Portugal, Australia, hingga Kanada menyatakan dukungan mereka terhadap berdirinya negara Palestina yang merdeka. Hal itu juga ditegaskan oleh Presiden Prabowo Subianto saat sampaikan pidato 5 menit di agenda pertama pada 22/9/2025 dan 15 menit di agenda kedua pada 23/9/2025 di atas.
Bagi sebagian kalangan, langkah ini merupakan terobosan penting setelah puluhan tahun stagnasi. Namun, bagi yang mengikuti dinamika konflik lebih dekat, muncul pertanyaan mendasar: negara Palestina seperti apa yang sebenarnya dimaksud?
Apakah sebuah negara yang benar-benar merdeka, berdaulat penuh atas tanah, laut, udara, dan kebijakannya? Ataukah sekadar entitas administratif yang dibatasi kewenangannya, tanpa militer, tanpa kontrol perbatasan, dan bergantung pada koordinasi keamanan dengan Israel?
Kedaulatan yang Dipertanyakan
Dalam banyak rancangan yang dibicarakan, Palestina dibayangkan sebagai negara dengan kedaulatan terbatas. Perbatasan, ruang udara, bahkan akses laut tetap berada dalam pengawasan Israel. Kondisi ini sejatinya tidak berbeda dengan realitas di Tepi Barat dan Gaza saat ini, di mana aktivitas keluar-masuk barang maupun manusia selalu tunduk pada kontrol ketat Tel Aviv.
Model seperti itu sulit disebut negara merdeka. Kedaulatan bukan sekadar pengakuan formal, melainkan kemampuan sebuah bangsa mengatur diri sendiri tanpa intervensi pihak luar. Tanpa itu, pengakuan negara hanyalah simbol, tanpa substansi.
Isu Pertahanan: Negara Tanpa Tentara
Gagasan dua negara yang didorong Barat umumnya menekankan demiliterisasi Palestina. Dengan kata lain, Palestina diminta menjadi negara tanpa angkatan bersenjata. Perlawanan bersenjata dilarang, mekanisme self-defense dikriminalisasi.
Namun, pertanyaan mendasar muncul: bagaimana mungkin sebuah negara berdiri tanpa kemampuan membela diri? Setiap bangsa berdaulat memiliki hak untuk melindungi rakyat dan wilayahnya. Bagi Palestina, yang sejak lama berhadapan dengan penjajahan dan agresi militer, hak ini bersifat mendesak sekaligus eksistensial.
Wilayah yang Samar
Kendala lain yang tak kalah krusial adalah soal batas wilayah. Israel terus memperluas permukiman di Tepi Barat, merampas tanah demi tanah. Jika persoalan batas ini tidak ditegaskan, maka Palestina yang dijanjikan hanya akan berupa kantong-kantong terpisah, tanpa kesinambungan geografis.
Sementara itu, posisi rakyat Palestina jelas: wilayah negara mereka mencakup Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota, sebagaimana ditegaskan hukum internasional. Apa yang kerap digambarkan dalam konsep dua negara jauh dari itu, bahkan lebih dekat kepada “negara tambal sulam” yang rapuh sejak awal.
Yerusalem dan Hak Pengungsi
Isu Al-Quds (Yerusalem) juga menjadi titik sensitif. Israel menegaskan kota itu sebagai “ibu kota abadi”, sementara bagi rakyat Palestina dan umat Islam, Yerusalem Timur adalah jantung identitas sekaligus rumah Masjid Al-Aqsha. Tanpa menjadikan Al-Quds sebagai ibu kota, sulit membayangkan negara Palestina yang memiliki legitimasi penuh di mata rakyatnya sendiri.
Selain itu, jutaan pengungsi Palestina yang tersebar di berbagai belahan dunia memiliki hak kembali (right of return) yang dijamin hukum internasional. Sayangnya, dalam sebagian besar peta jalan dua negara, isu ini nyaris dihapus sama sekali. Jika hak pengungsi diabaikan, maka solusi tersebut pada dasarnya tidak menyentuh akar persoalan.
Pemerintahan Tanpa Kemandirian
Potret lain yang perlu dicermati adalah peran pemerintah Palestina di bawah konsep dua negara. Banyak indikasi menunjukkan bahwa entitas yang dimaksud tidak akan jauh berbeda dari Otoritas Palestina (PA) yang kini berkedudukan di Ramallah: terbatas kewenangannya, sangat bergantung pada bantuan luar, dan lebih banyak berfungsi sebagai mitra koordinasi keamanan bagi Israel.
Kondisi ini membuat “negara Palestina” yang dijanjikan sulit menjadi instrumen kemerdekaan. Sebaliknya, ia berpotensi menjadi instrumen stabilitas bagi Israel, sambil menekan aspirasi rakyat Palestina yang lebih luas.
Normalisasi yang Disamarkan
Bila dirunut lebih jauh, inti dari solusi dua negara versi Barat bukanlah semata keadilan bagi Palestina, melainkan membuka jalan bagi normalisasi Israel dengan dunia Arab dan Islam. Dengan adanya pengakuan formal atas Palestina, Israel berharap bisa memperoleh penerimaan lebih luas, tanpa harus menghentikan pendudukan, blokade, dan pelanggaran hak asasi.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dalam pernyataannya kepada surat kabar Yedioth Ahronoth Israel, bahwa pengakuan atas Negara Palestina tidak akan membahayakan Israel, melainkan menguntungkannya, karena pada akhirnya Palestina akan menjadi negara simbolik dan harganya adalah mendorong negara-negara Arab menuju normalisasi.
Jadi solusi dua negara adalah negara maya bertukar dengan pengakuan penuh terhadap “Israel” dan memberi legitimasi halus yang memungkinkan semua pihak melakukan normalisasi di bawah kemenangan semu ini. Dalam kerangka ini, negara Palestina cenderung menjadi alat kosmetik diplomatik. Ia hadir bukan untuk memberikan kebebasan sejati, melainkan untuk memuluskan rekonsiliasi politik yang menguntungkan Israel.
Jalan Menuju Keadilan Sejati
Dari berbagai catatan tersebut, jelaslah bahwa negara Palestina versi Barat adalah entitas dengan kedaulatan semu. Ia tidak memiliki pertahanan, tidak jelas batas wilayahnya, tidak mengakui hak pengungsi, dan tidak menjadikan Al-Quds sebagai ibu kota. Dalam format demikian, sulit menyebutnya sebagai solusi yang adil dan berkelanjutan.
Sebaliknya, negara Palestina yang sesuai dengan aspirasi rakyat Palestina adalah negara merdeka dengan ciri-ciri berikut: 1) Kedaulatan penuh atas tanah, laut, udara, dan kebijakan luar negeri. 2) Hak memiliki pertahanan dan militer, sebagaimana negara lain. 3) Wilayah yang mencakup Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota. 4) Pengakuan dan pemenuhan hak pengungsi untuk kembali. 5) Keadilan bagi korban melalui penghentian penjajahan serta penuntutan kejahatan perang.
Menolak Solusi Semu
Sejarah menunjukkan bahwa perdamaian tanpa keadilan tidak akan pernah bertahan lama. Pengalaman Oslo dan berbagai perjanjian sebelumnya menjadi bukti nyata: janji-janji politik tanpa substansi hanya berakhir pada kekecewaan.
Karena itu, pengakuan negara Palestina harus dibaca dengan kritis. Ia tidak boleh berhenti pada simbolisme politik, melainkan harus diiringi langkah nyata: penghentian penjajahan, pencabutan blokade, pemulihan hak pengungsi, dan jaminan atas kedaulatan penuh. Tanpa itu semua, “negara Palestina” yang ditawarkan hanyalah sebuah nama tanpa makna.
Penutup
Rakyat Palestina telah membayar harga yang amat mahal dalam memperjuangkan tanah air mereka: pengungsian, penindasan, hingga genosida yang terus berlangsung. Karena itu, kemerdekaan yang mereka dambakan bukanlah kemerdekaan semu. Mereka menuntut kemerdekaan sejati yang menjamin hak, martabat, dan kedaulatan penuh.
Dunia internasional, khususnya dunia Islam, perlu memastikan bahwa dukungan terhadap Palestina tidak berhenti pada pengakuan formal belaka. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa pengakuan tersebut benar-benar menghadirkan keadilan. Sebab pada akhirnya, hanya dengan keadilanlah perdamaian yang abadi dapat diwujudkan.
Jakarta, 24 September 2025
Oleh Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Aktifis Muballigh Muhammadiyah



