Beberapa waktu lalu Indonesia kedatangan tamu agung, Grand Shaikh Al-Azhar (GSA) Prof. Dr. Ahmad Thayeb. Kedatangan atau lebih tepatnya undangan ke Indonesia terkesan dadakan, mengingat agenda utama beliau sebenarnya hanya ke Malaysia dan Thailand. Dalam kunjungan beliau ke Indonesia yang sebelumnya, saya mendapatkan kepercayaan dari pihak kantor Grand Shaikh di Kairo (Masyikhah) untuk menerjemahkan berita terkait kunjungan GSA, agar beliau mengetahui dan memahami respon media-media di Indonesia terkait kunjungan beliau.
Dalam kunjungan kali ini, saya diminta untuk menjadi MC acara GSA di UIN Jakarta. Sebenarnya mau menolak hal itu, karena kondisi saya sedang sakit. Akhirnya tetap saya sanggupi dengan niat ngalap berkah kepada GSA. Yang semula saya sangat menghindari obat-obatan kimia saat sakit, demi mendapatkan kesehatan yang lebih instan. Namun khusus kali ini, saya hajar dengan obat-obatan agar tubuh kembali sehat saat acara. Meski tetap saja, ketika hari H, kondisi masih belum berhasil sembuh total.
Ketika acara berlangsung, saya didatangi dua orang Mesir yang berbeda yang mendampingi GSA. Keduanya memberitahu bahwa tema sambutan GSA adalah tentang “Persatuan Umat dalam Menghadapi Tantangan” (Wahdatu al-Ummah fi Muwajahah al-Tahaddiyat). Itu mengubah tema yang digagas oleh UIN, yaitu tentang moderasi Islam.
Sepertinya, tema besar pesan moral GSA akhir-akhir ini adalah tentang persatuan umat. Hal itu untuk merespon agresi militer Israel terhadap Palestina, yang semakin hari semakin brutal dan tidak manusiawi. Bahkan dalam sejumlah pidatonya, GSA memberikan otokritik kepada umat Islam yang terlalu sibuk dengan persoalan perbedaan antara mazhab Ahlussunnah Asyairah dengan Salafi Wahabi. Beliau mempertanyakan, apakah kita sudah memberikan edukasi yang cukup terkait persoalan Palestina kepada anak-anak kita? Tentu ini bukan berarti beliau melarang perdebatan atau dialog antar aliran atau mazhab di dalam Islam. Namun beliau hanya ingin membangunkan umat Islam agar tidak terlena dengan perdebatan-perdebatan yang klasik, hingga lupa persoalan-persoalan besar kontemporer yang akan sangat menentukan terhadap arah bahkan eksistensi umat Islam ke depannya.
Al-Azhar, pasca tumbangnya rezim Hoesni Mubarak, dan dalam kepemimpinan Syekh Ahmad Thayeb, mulai terbuka memberikan pernyataan atau kritik kepada Barat dan Israel. Beliau berhasil membawa Al-Azhar di level tertinggi dalam percaturan dunia internasional. Sehingga, suara Al-Azhar sangat diperhitungkan, dan GSA dianggap sebagai pimpinan nomor satu umat Islam di seluruh dunia.
Dalam suatu waktu, salah seorang pimpinan politisi terkemuka di Prancis, yang saya lupa namanya, berkunjung ke kantor GSA (Masyikhah). Kunjungan ini kemudian menjadi berita utama di halaman depan koran Shout Al-Azhar, yang merupakan media cetak dan online utama bagi Al-Azhar. Di antara isi liputannya adalah kritikan GSA terhadap adanya konsep hak veto yang dipegang oleh negara-negara digdaya, dimana hak veto ini dipandang tidak adil, sebab nasib negara-negara lain sangat bergantung kepada pemegang hak veto ini. Juga pernyataan keras beliau adanya campur tangan Barat dalam konflik di Timur Tengah yang tidak berkesudahan.
Lantas bagaimana terkait Palestina? Al-Azhar di dalam kepemimpinan GSA Prof. Ahmad Thayeb, memberikan perhatian yang cukup serius. Pada tanggal 17 dan 18 Januari 2018, Al-Azhar menggelar konferensi internasional dengan nama “Nushratu al-Quds” di Kairo. Konferensi ini menegaskan dukungan penuh terhadap Al-Quds (Yerusalem) khususnya, dan Palestina pada umumnya. Konferensi dihadiri para ulama dan cendekiawan lintas agama dari seluruh penjuru dunia. Dan ini sebagai respon atas rencana Amerika yang hendak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Dalam sambutannya, Grand Shaikh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmed Thayeb dan Wakilnya saat itu Prof. Dr. Abbas Shouman, menegaskan bahwa Al-Azhar akan menjadikan wawasan tentang persoalan Palestina sebagai pelajaran wajib di seluruh jenjang pendidikannya. Keduanya mengakui bahwa konferensi tidak akan menyelesaikan konflik di Palestina, tapi konferensi ini cukup sukses dalam membangunkan umat Islam dan memberikan pesan bahwa Palestina tidak sendirian.
Sikap-sikap Al-Azhar terkait persoalan Palestina, kurang mendapatkan pemberitaan yang masif di tanah air. Saya melihat, Al-Azhar sering hanya dilihat dari kampanye moderasi dan anti radikalismenya saja. Padahal, moderasi Islam yang dipahami dan dikampanyekan oleh Al-Azhar itu menyasar seluruh persoalan keumatan yang dipandang oleh Al-Azhar tidak tepat, atau menyimpang, baik radikalisme, liberalisme maupun imperialisme.
Al-Azhar, meski terlihat hanya sebagai lembaga pendidikan, namun sejarah mencatat bahwa ia tidak hanya sekedar lembaga pendidikan sebagaimana umumnya. Tapi ia memiliki pengaruh yang cukup besar di dunia Islam, melebihi ormas Islam. Bahkan di Mesir sendiri, kedudukan GSA itu setara dengan Perdana Menteri, dan Al-Azhar sesuai undang-undang, selalu memiliki jatah 2 kursi untuk mengirimkan delegasinya untuk duduk di kursi Parlemen. Dan undang-undang juga memberikan kepercayaan yang mutlak kepada Al-Azhar, dimana penafsiran tentang keislaman diberikan sepenuhnya kepada instansi Al-Azhar.
Muhammad Hidayatulloh
Santri Al-Azhar